Kala Sungai Mengalir Terbalik




Bagai sebuah kerutan pada peta Amerika Serikat, Sungai Mississipi membagi negara itu menjadi dua. Pada hulunya di Minnesota, lebar sungai ini hanya tiga meter. Tetapi, ia melebar dengan cepat seraya belasan anak sungainya mencurahkan air ke aliran sepanjang 3.700 kilometer ke arah selatan ini. Di dekat New Orleans, Louisiana, sungai ini mencapai kedalaman 60 meter dan memiliki lebar satu kilometer. Melalui deltanya, 15.000.000 liter air dicurahkah ke Teluk Meksiko setiap detiknya. Pada saat banjir, jumlahnya meningkat hingga lebih dari 80.000.000 liter per detik.


Orang-orang yang tinggal di sepanjang sungai ini mengetahui semua kerusakan yang dapat disebabkan oleh air itu. Mereka telah menyaksikan air itu membanjiri lading-ladang, menghancurkan tanggul-tanggul, menghanyutkan rumah-rumah, dan memusnahkan kehidupan. Tetapi, hanya sedikit orang sekarang ini yang bahkan dapat membayangkan apa yang terjadi pada sungai itu kurang dari 200 tahun yang lalu.


Pada bulan Desember 1811, suatu kekuatan yang tidak kelihatan mencengkeram kuat-kuat lembah Mississipi bagian tengah dan tidak melepaskannya selama berminggu-minggu. Serangkaian gempa bumi besar menyebabkan palung sungainya naik turun bagaikan laut yang terguncang. Begitu hebatnya guncangan bumi itu sampai-sampai pada tanggal 7 Februari 1812, persis di hulu sungai dari New Madrid, Missouri, Sungai Mississipi yang perkasa mengalir ke utara bukannya ke selatan.



Hari-Hari Penuh Ketakutan dan Kegentaran

Peristiwa itu menjadi klimaks saat-saat mencekam yang dikenal sebagai gempa bumi New Madrid. Pada pukul 2.00 dini hari, tanggal 16 Desember 1811, gempa pertama menghantam daerah yang kini adalah kawasan tumit sepatu bot di negara bagian Missouri. Para petani dan penduduk desa terbangun seraya perabot mereka mulai bergerak dan porselen pecah berkeping-keping di lantai. Rumah-rumah bergeser dari fondasinya. Orang-orang berlarian ke luar rumah dan tetap di sana, sambil menggigil karena dinginnya cuaca dan guncangan bumi. Rumah-rumah mereka yang sebelumnya menjadi tempat istirahat yang aman kini mendatangkan ancaman bagi mereka.


Tanah terus berguncang, tetapi kekuatannya lebih lemah, selama jam-jam menjelang fajar menyingsing. Sekitar pukul 7.00 pagi, sebuah gempa hebat lainnya menghantam. Kemudian, menjelang pukul 11.00 pagi, gempa lainnya, yang bahkan lebih kuat, terjadi. Tanah membelah membentuk retakan-retakan. Lumpur, air, dan batu bara menyemprot ke luar dari retakan-retakan tersebut bagaikan semburan air yang menakutkan. Gas belerang yang berbau busuk menyembur dari bawah dan mengotori udara. Para saksi mata melihat ribuan burung yang ketakutan terbang menjauh dari kawasan itu. Saat guncangan-guncangan itu berhenti, kota Little Prairie, Missouri, tinggal puing-puing.



Sebuah Pelayaran Penuh Guncangan Menuju Hilir Sungai

Pada saat gempa-gempa itu terjadi, kapal bertenaga uap terbaru New Orleans mengarungi Sungai Ohio menuju Sungai Mississipi – dengan tujuan New Orleans, Louisiana. Suasana gembira berganti menjadi kecemasan hebat seraya kapal itu memasuki perairan yang terimbas gempa-gempa bumi tersebut. Bantaran-bantaran sungai berguncang dan runtuh ke dalam sungai. Batang-batang kayu, yang lama terkubur di dasar sungai, mengapung ke permukaan air dan mengancam mengoyakkan badan kapal itu. Gelombang-gelombang besar mengguncangkan kapal itu seperti sebuah gabus. Peta-peta navigasi yang disiapkan untuk perjalanan tersebut menjadi mubazir, karena gempa-gempa bumi telah mengubah arah aliran sungai itu. Suatu pelayaran yang menyenangkan berubah menjadi perjalanan yang mengerikan.


Pada tanggal 19 Desember 1811, kapal New Orleans mendekati New Madrid, sambil berharap dapat memperoleh perbekalan. Akan tetapi, kota di tepi sungai yang dulunya semarak itu kini tidak dapat mengulurkan bantuan apa pun. Beberapa orang yang masih ada di sana dengan putus asa memberikan isyarat agar kapal itu mendekat dan membawa mereka pergi dari reruntuhan rumah-rumah dan pusat-pusat bisnis yang berasap.


Namun, kapal itu melanjutkan perjalanannya menuju hilir Sungai Mississipi, para penumpangnya kini gemetar seperti peseluncur yang terjebak di lapisan es yang tipis. Kapal itu melewati kota Point Pleasant, yang adalah sebuah kota hantu. Little Prairie adalah kota berikutnya pada peta. Kapal itu juga tidak berhenti di sana, karena sebagian besar Little Prairie talah lenyap dan gedung-gedungnya yang tersisa sudah porak-poranda.


Lebih ke selatan lagi, kapal uap itu berpapasan dengan gelondongan kayu besar-besar dan tumpang-tindih sehingga menghambat aliran sungai. Gempa-gempa bumi itu telah mencabut belasan pohon dan melemparkannya ke sungai. Setelah dengan susah payah mengapak dan menyingkirkan gelondongan-gelondongan itu sehingga dapat lewat, awak kapal New Orleans di Pulau #32, dekat kota Osceola sekarang di Arkansas. Sekitar pukul 4.30 dini hari, pada tanggal 21 Desember, seorang penumpang merasakan tarikan-tarikan aneh pada tali tambatan kapal itu. Sewaktu hari mulai siang tampaklah apa yang telah terjadi. Tambang itu tertarik kuat hampir lurus ke dalam air. Tidak ada tanah kering yang terlihat. Pada malam itu, palung sungai telah ambles dan Pulau #32 telah lenyap ke bawah permukaan, korban lain gempa bumi New Madrid.


Kapal New Orleans dengan aman menyelesaikan pelayaran perdananya, kapal pertama yang mengarungi Sungai Mississipi dari ujung ke ujung dengan tenaga uap. Barangkali, prestasi yang bahkan lebih besar lagi adalah bahwa kapal itu bisa tiba di tempat tujuannya.



Lebih Banyak Guncangan Lagi

Getaran-getaran yang lebih lemah terus berlangsung sampai bulan Januari 1812. Pada tanggal 23 Januari, sekitar pukul 9.00 pagi, orang-orang merasakan guncangan yang sangat menakutkan akibat gempa bumi lainnya yang kuat. Kota yang sudah terguncang, Point Pleasant, Missouri, berdekatan dengan pusat gempa, dan para penduduknya pun melarikan diri. Ketika beberapa orang kembali pada bulan Februari 1812, mereka mendapati kota itu bukan hanya hancur melainkan juga bahwa semua bekasnya sudah lenyap. Gempa pada tanggal 23 Januari menyebabkan Point Pleasant dan tanah tempatnya berpijak telah tercampak ke Sungai Mississipi.



Kekuatan Dahsyat yang Terakhir

Sebelum fajar menyingsing pada tanggal 7 Februari 1812, para penduduk kawasan tumit sepatu bot itu kembali diguncang oleh tidur yang tidak nyenyak seraya gelombang seismik yang sangat besar menggulung dari pusat gempa di bawah mereka. Gempa bumi ini, yang merupakan guncangan paling keras dari semuanya, begitu kuatnya sampai-sampai merobohkan cerobong-cerobong asap di Cincinnati, Ohio, sejauh 650 kilometer darinya. Guncangan ini membunyikan lonceng-lonceng gereja di Boston, Massachusetts, yang berjarak 1.600 kilometer. Ke arah utara Montreal, Kanada, piring-piring bergemeretak di atas meja. Seorang pria asal Kentucky, yang tinggal sekitar 130 kilometer dari pusat gempa, menulis dalam catatan hariannya, “Jika kami tidak menjauh dari sini, tanah bakal menelan kami hidup-hidup.” Akan tetapi, satu bagian istimewa dari kekuatan dahsyat gempa bumi itu dikhususkan bagi kota di tepi sungai yakni New Madrid.


Guncangan yang lebih awal telah sangat menghancurkan New Madrid, menewaskan beberapa penduduk dan memaksa sebagian besar yang selamat untuk lari. Guncangan pada tanggal 7 Februari menghancurkan semua yang tersisa. Seraya gempa bumi menghantam, penduduk yang masih tinggal melarikan diri – dan tepat waktu. Bantaran sungai yang tinggi tempat kota itu berdiri runtuh dan jatuh ke Sungai Mississipi, lalu arus sungai yang hebat memukul dan menyapu papan, batu bata, dan batu-batu dari New Madrid. Dalam waktu singkat, semua tanda keberadaan kota itu lenyap.



Dampaknya atas Sungai Itu

Gempa bumi New Madrid menghasilkan air-air terjun sementara di Mississipi dekat New Madrid. Belasan kapal terbalik sewaktu melewatinya. Gempa pada tanggal 7 Februari menyebabkan tanah naik dan ambles, memaksa arusnya berbalik arah. Retakan-retakan yang sangat besar terbentuk di bawah sungai, menciptakan pusaran-pusaran air sehingga lebih banyak kapal lagi yang hilang terhisap. Gempa itu menggeser aliran sungai dan menenggelamkan kota-kota dan rumah-rumah tinggal. Guncangan itu juga mengalihkan air dari sungai tersebut, menciptakan Danau Reelfoot, sebuah danau besar di Tennessee yang tidak ada sebelum tahun 1812. Pohon-pohon yang dahulu berdiri di tanah kering kini berada di tengah-tengah Danau Reelfoot, tetap mencengkeram kuat-kuat tanah yang terendam air.





Gempa-gempa bumi ini tidak dapat diukur secara tepat, karena seismograf modern belum ada pada tahun 1812. Para ilmuwan memperhitungkan bahwa setidak-tidaknya tiga dari gempa bumi New Madrid melebihi 8,0 skala Richter. Inilah gempa-gempa bumi terbesar yang pernah diamati di seluruh Amerika Serikat dan termasuk di antara gempa-gempa bumi yang terkuat yang pernah dicatat di bumi. Meskipun daerah bencananya berpenduduk sedikit, belasan orang – mungkin ratusan orang – tewas dalam bencana itu.





Dewasa ini, Sungai Mississipi mengalir melalui kawasan tumit sepatu bot Missouri seolah-olah tidak ada peristiwa penting yang pernah terjadi. Tetapi, seandainya sungai itu bisa berbicara, ia akan memberi tahu kisah yang luar biasa tentang saat ia mengalir terbalik.

Surga yang Direklamasi dari Gurun


Pada pengunjung abad ke-18, penduduk di sebuah desa nelayan merasakan bahwa desa mereka di ambang kehancuran. Selama bertahun-tahun, sebuah bukit pasir raksasa telah merayap menuju desa mereka. Dengan sia-sia, mereka mencoba mengalihkan jalur bukit pasir itu dengan membangun perintang kayu berbentuk segitiga. Akan tetapi, pada tahun 1797, bukit pasir itu benar-benar menelan desa mereka.





Itulah salah satu babak dari drama 80 tahun, sewaktu bukit-bukit pasir menelan lebih dari selusin desa dan mengubah Tanjung Curonian menjadi gurun, sebidang kawasan sepanjang 100 kilometer yang menjorok dari Pesisir Baltik di tempat yang sekarang adalah Rusia dan Lituania. Penyebab kehancuran dan pemulihan kawasan itu – yang kini merupakan sebuah objek wisata terkemuka – menjadi kisah yang memesona.



Akibat Pengelolaan yang Buruk dan Penaklukkan

Selama berabad-abad, pasir Tanjung Curonian dilapisi tumbuh-tumbuhan yang sangat subur. Hutannya menyediakan banyak binatang buruan bagi penduduk setempat. Pada awal abad ke-18, wilayah itu menjadi bagian dari jalur pos yang penting antara Eropa Barat dan Imperium Rusia. Sewaktu populasinya meningkat selama masa damai, kawanan ternak memakan habis lapisan hijaunya yang ringkih, dan orang-orang membabati hutan untuk mendapatkan kayunya. Penduduk setempat tidak menyadari betapa ringkihnya tumbuh-tumbuhan penutup yang selama itu mereka andalkan.


Hutan itu mendapatkan pukulan mautnya ketika pasukan Rusia menyerbu pada tahun 1757 dan menebangi pohon-pohonnya guna membuat perahu perairan dangkal untuk mengepung Konigsberg (Kaliningrad), sebuah kota penting di Prusia. Selama puluhan tahun berikutnya, angin membentuk bukit-bukit pasir dan mengakibatkan bencana yang disebutkan di awal.


Apakah alam yang hancur seperti itu dapat dipulihkan? Georg David Kuwert, seorang petugas pos yang gigih, dan ayahnya, Gottlieb, termasuk orang-orang yang yakin akan hal itu. Pada tahun 1825, mereka mulai menghijaukan kembali tanjung itu. Perjuangan itu panjang dan meletihkan. Selama lebih dari seabad, ratusan orang telah bekerja keras di proyek itu. Pertama-tama, mereka harus menstabilkan tanah dengan rumput jenis khusus yang berakar dalam dan tumbuh subur di pasir. Kemudian, mereka menanami ratusan hektar tanah dengan berbagai jenis pohon pinus dan betula yang tangguh. Akhirnya, perjuangan itu pun berhasil. Sekitar 70 persen tanah gersang itu kini telah hijau kembali. Seperti apa tanjung itu sekarang?



Surga bagi Turis

Dewasa ini, Tanjung Curonian dikunjungi sampai 8.000 turis setiap hari, dan hal itu tidak mengherankan, karena objek wisata tanjung itu sangat beragam. Entah anda berjalan kaki, bersepeda, maupun tur dengan mobil, pemandangannya berubah-ubah dengan sangat cepat. Hutan-hutannya dihuni oleh rusa besar, rusa roe, rubah, dan babi hutan liar. Kira-kira seratus jenis burung bersarang di sini, dan lebih dari sejuta burung bermigrasi melewati tanjung ini setiap tahun. Ada 900 jenis tanaman, dan masih ada banyak bukit pasir, meskipun kini hanya menempati 12 persen wilayah itu.





Beberapa bukit pasir menjulang setinggi 50 meter. Menyaksikan hamparan pasir dan langit ke mana pun mata memandang merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Seraya anda mendaki, anda melihat bahwa beberapa bukit pasir memiliki bentuk seperti mangkuk terbalik, dipahat oleh angin. Ketika anda tiba di puncaknya yang curam, di mana pasir yang diembuskan angin bergulir di sisinya sehingga membuat bukit-bukit itu bergerak maju, di hadapan anda terbentang pemandangan yang memukau. Anda melihat tanjung tempat anda berdiri membentang hingga di kejauhan, dihiasi oleh berbagai desa, hutan, tanah lapang, dan mercu suar. Di sisi yang satu terdapat ombak bergulung-gulung dari Laut Baltik; di sisi yang lain, air tenang Laguna Curonian.


Udara laut yang dingin benar-benar menyegarkan para pengunjung. Banyak orang yang asyik berselancar dan berlayar; yang lain berjalan santai melewati salah satu desa kuno yang tenang. Rumah-rumah bercat terang dengan atap dari genteng atau lalang melestarikan suasana tenang tempo dulu. Bau amis ikan yang dikeringkan dan pemandangan jarring-jaring yang sedang dijemur mengingatkan para pelancong bahwa menangkap ikan adalah pekerjaan utama penduduk tanjung itu sejak dahulu. Alat penunjuk arah angin adalah pemandangan yang umum, karena para nelayan sangat berminat dengan arah angin. Penunjuk arah angin di sini sangat artistik dan menarik untuk diteliti. Selain menghiasi tiang utama setiap kapal yang berlayar, penunjuk arah angin juga berfungsi sebagai tanda pengenal desa asalnya. Tak kalah menariknya, potongan-potongan batu ambar kadang-kadang dapat ditemukan terdampar di pantai. Khususnya sewaktu cuaca mendung, turis mengunjungi museum-museum yang memamerkan perhiasan batu ambar. Ada batu ambar yang di dalamnya terlihat fosil tanaman atau serangga.





Maka, tidak heran kalai wakil Lituania untuk Organisasi Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan, Perserikatan Bangsa-Bangsa menggambarkan Tanjung Curonian sebagai surga. Wilayah itu adalah surga yang direklamasi dari tanah yang telah dirusak oleh pengelolaan yang buruk dan perang.


Suku Indian Brasil Terancam Punah?





Taman Nasional Xingu terletak di negara bagian Mato Grosso, Brasil. Luasnya sekitar 27.000 kilometer persegi – kira-kira seluas Sulawesi Utara. Daerah ini dihuni sekitar 3.600 orang Indian yang terdiri dari 14 kelompok etnis. Taman ini ibarat pulau yang penuh dengan tumbuhan hijau, di tengah-tengah apa yang dalam gambar satelit tampak seperti “meja biliar raksasa”. Hutan-hutan di sekelilingnya ada yang dibakar supaya ada jalan bagi para pembalak yang mencari pohon-pohon yang kayunya dapat dijual. Ada juga sebagian hutan yang diubah menjadi padang rumput untuk kawanan ternak yang besar.


Pada tahun 1960-an, pemerintah Brasil mulai mendirikan cagar budaya bagi orang Indian. Sebagian besar berada di kawasan Amazon, kini cagar tersebut luasnya 12 persen dari seluruh wilayah Brasil. Pembuatan cagar ini telah sangat berperan dalam menghasilkan perubahan yang mengejutkan: Populasi suku Indian Brasil meningkat – untuk pertama kali dalam 500 tahun terakhir! Diperkirakan jumlahnya sekitar tiga ratus ribu orang. Namun, angka itu hanya sepersekian dari populasi suku Indian pada tahun 1500, yang diperkirakan antara dua juta dan enam juta orang.


Dalam 500 tahun terakhir, seperti yang dikatakan oleh seorang penulis, “telah terjadi tragedi demografis yang mengerikan dalam skala yang besar”. Mengapa populasi suku Indian berkurang begitu drastis? Apakah pertumbuhan pada tahun-tahun belakangan ini berarti bahwa suku Indian Brasil akhirnya bebas dari kepunahan?



Bagaimana Penjajahan Dimulai

Selama 30 tahun pertama setelah Portugal mengklaim Brasil pada tahun 1500, minat penjajah terpusat pada kayu Brasil – kayu keras yang menghasilkan pewarna merah. Brasil mendapatkan namanya dari pohon ini. Kayunya sangat mahal di Eropa, dan orang Eropa membarternya dengan berbagai pernak-pernik.


Namun, tidak lama kemudian mereka mendapati bahwa tebu tumbuh subur dalam iklim Brasil. Tetapi, ada kendalanya. Perkebunan tebu membutuhkan banyak tenaga kerja. Permintaan akan tenaga kerja budak mulai meningkat. Dan, para pendatang tidak perlu mencari jauh-jauh! Tenaga pribumi banyak tersedia.



Timbulnya Perbudakan

Orang Indian sudah terbiasa bertani hanya untuk konsumsi sehari-hari. Pada umumnya kaum pria berburu dan menangkap ikan. Mereka melakukan pekerjaan berat merambah hutan. Kaum wanitanya menanam, memanen, dan mempersiapkan makanan. Di kalangan intelektual Eropa, orang Indian dipuji karena tidak terlalu berminat akan kekayaan dan tidak serakah. Sebaliknya, di mata kaum pendatang orang Indian hanyalah pemalas.


Orang Indian yang bersikap bersahabat dianjurkan pindah ke dekat pemukiman orang Portugis untuk menjadi pekerja dan pelindung bagi para pendatang. Kaum Yesuit dan ordo keagamaan lainnya sering kali berperan dalam proses ini. Sedikit pun mereka tidak menyadari bahwa kontak ini akan sangat merugikan orang Indian. Meskipun tanah dan kemerdekaan orang Indian dijamin oleh undang-undang, dalam prakteknya orang Indian sebenarnya dipaksa untuk bekerja sebagai budak bagi para pendatang. Jarang mereka dibayar atau diizinkan menggarap tanah milik mereka sendiri.


Upaya Takhta Portugis untuk melarang perbudakan tidak banyak berhasil. Para pendatang biasanya berhasil mengelak undang-undang anti-perbudakan. Secara umum, memperbudak atau menjual orang Indian sebagai budak dianggap berterima secara moral, karena mereka dianggap musuh yang ditawan dalam “peperangan yang adil”. Orang Indian yang ditawan oleh suku lain juga dapat dibeli, atau “ditebus”, dan tetap dijadikan budak.


Jadi kesimpulannya, karena adanya industri gula, tanah jajahan ini dianggap berpotensi untuk mendatangkan kekuntungan. Dan, industri gula pada masa itu bergantung pada tenaga kerja budak. Karena itu, Takhta Portugis sering kali terpaksa berkompromi dengan hati nurani demi meraup lebih banyak keuntungan.



Persaingan antar Penjajah – Portugal Lawan Perancis dan Belanda

Orang-orang Indian menjadi korban utama konflik antara kuasa-kuasa penjajah. Orang Perancis dan orang Belanda berupaya merebut Brasil dari Portugal. Mereka bersaing dengan orang Portugis untuk mendapatkan dukungan orang Indian. Orang Indian tidak menyadari bahwa tujuan kuasa-kuasa asing ini adalah untuk merebut tanah mereka. Sebaliknya, mereka menganggap konflik itu sebagai peluang untuk balas dendam terhadap musuh mereka sendiri – suku-suku Indian lainnya – sehingga mereka rela melibatkan diri dalam pertikaian kuasa-kuasa asing itu.


Sebagai contoh, pada tanggal 10 November 1555, seorang bangsawan Perancis bernama Nicholas de Villegaignon, mendarat di Teluk Guanabara (Rio de Janeiro modern) dan membangun sebuah benteng. Ia bersekutu dengan orang Indian setempat dari suku Tamoio. Orang Portugis mendatangkan suku Indian Tupinamba dari Bahia dan akhirnya pada bulan Maret 1560, mereka menyerang benteng yang tampaknya mustahil ditaklukkan itu. Orang Perancis melarikan diri namun terus berdagang dengan suku Tamoio dan menghasut mereka untuk menyerang orang Portugis. Setelah beberapa pertempuran, suku Tamoio akhirnya kalah. Konon, dalam satu pertempuran saja, ada 10.000 orang yang dibantai dan 20.000 orang diperbudak.



Penyakit yang Menjijikkan dari Eropa

Penduduk asli yang mula-mula dijumpai orang Portugis kelihatannya sangat sehat. Para penjelajah yang mula-mula percaya bahwa banyak orang Indian yang lanjut usia berumur lebih dari seratus tahun. Tetapi, orang Indian tidak mempunyai kekebalan terhadap penyakit-penyakit dari Eropa dan Afrika. Boleh jadi faktor inilah yang terutama menyebabkan mereka berada di ambang kepunahan.


Arsip pemerintah Portugis penuh dengan laporan yang mengerikan tentang epidemi yang mengurangi populasi orang Indian secara drastis. Pada tahun 1561, wabah penyakit cacar melanda Portugal dan menyebar melintasi Lautan Atlantik. Dampaknya sangat menghancurkan. Leonardo do Vale, seorang Yesuit, menulis sepucuk surat tertanggal 12 Mei 1563, yang menggambarkan kengerian epidemi itu di Brasil, “Jenis cacar ini begitu menjijikkan dan berbau busuk sehingga tidak seorang pun yang tahan mencium bau yang keluar dari tubuh para korban. Karena itu, banyak mayat yang tidak terurus dimakan oleh ulat-ulat dalam luka-luka cacar itu yang berkembang biak dengan begitu pesat dan dengan ukuran yang begitu besar sehingga mengerikan dan mengejutkan bagi siapa pun yang melihatnya.”



Pembauran antar Ras Mengejutkan Kaum Yesuit

Pembauran antar ras juga menjadi penyebab lanyapnya banyak suku. “Baik orang Portugis maupun penduduk asli Brasil tidak menentang pembauran antar ras,” kata buku Red Gold – The Conquest of the Brazilian Indians. Orang Indian menganggap suatu keramahtamahan memberikan wanita mereka, sering kali putrid mereka sendiri, kepada orang-orang asing. Sewaktu kaum Yesuit yang pertama tiba di Brasil pada tahun 1549, mereka sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat. “Mereka (para klerus) mengatakan di hadapan umum kepada kaum pria bahwa menurut hukum mereka diperbolehkan menggauli para wanita Indian.” Demikian keluhan Manuel da Nobrega, seorang Yesuit. Ia menambahkan, “Para pendatang menjadikan semua wanita Indian (budak-budak) sebagai gundik.” Raja Portugal diberi tahu bahwa seorang pemukim Portugis ‘mempunyai begitu banyak anak, cucu, cicit dan keturunan sehingga (si pelapor mengatakan) saya tidak berani memberi tahu Yang Mulia berapa jumlahnya’.





Menjelang pertengahan abad ke-17, orang-orang Indian yang tadinya banyak menghuni daerah pesisir Brasil telah tewas terbunuh, diperbudak, atau mengalami pembauran antar ras. Hal yang sama juga segera terjadi dengan suku-suku di kawasan Amazon.


Kedatangan orang Portugis di Amazon diikuti oleh “perburuan bebas” yang hampir tak terkendali terhadap penduduk Amazon hilir. Menurut Manoel Teixeira, vikaris-jenderal negara bagian Maranhao, dalam kurun waktu beberapa dekade saja, orang Portugis telah membunuh hampir dua juta orang Indian di Maranhao dan Para! Boleh jadi angka ini dibesar-besarkan, namun pembinasaan dan penderitaan itu benar-benar terjadi. Belakangan, penduduk di daerah hulu Amazon, kecuali daerah-daerah terpencil, hampir kehilangan seluruh penduduk aslinya, yakni orang-orang Indian.


Pengembangan sebagian besar daerah pedalaman Amazon selama abad-abad ke-19 dan ke-20 yang lalu secara bertahap telah mempertemukan orang kulit putih dengan suku-suku Indian terpencil yang masih bertahan hidup. Penemuan proses vulkanisasi karet oleh Charles Goodyear pada tahun 1839, dan seiring dengan itu ditemukannya ban karet, telah menimbulkan “demam karet”. Para pedagang berduyun-duyun mandatangi kawasan Amazon, yang menjadi satu-satunya pemasok karet mentah. Masa itu ditandai oleh eksploitasi yang mengenaskan atas penduduk asli, yang menyebabkan jumlah mereka semakin berkurang lagi.



Apa Dampak Abad ke-20 atas Orang Indian?

Pada tahun 1970, pemerintah Brasil menetapkan rencana integrasi dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah terpencil di Amazon. Banyak jalan raya ini melintasi tanah orang Indian dan membuat mereka terancam bukan saja oleh serangan para pemburu bahan tambang, melainkan juga oleh serangan penyakit-penyakit yang mematikan.


Sebagai contoh, perhatikan apa yang terjadi dengan orang Panaras. Suku ini telah merosot jumlah anggotanya karena perang dan perbudakan selama abad ke-18 dan ke-19. Suatu sisa yang kecil melarikan diri kea rah barat daya, jauh memasuki hutan di daerah Mato Grosso bagian utara. Lalu, jalan raya Cuiaba-Santarem dibangun persis melintasi tanah mereka.





Kontak dengan orang-orang kulit putih terbukti fatal bagi banyak orang. Pada tahun 1975, hanya 80 orang yang masih tersisa dari suku yang tadinya besar ini. Orang Panaris ini direlokasi ke Taman Nasional Xingu. Mereka mencoba tanpa hasil untuk menemukan sebuah lingkungan dalam taman itu yang mirip dengan hutan asli mereka. Lalu, orang Panaras memutuskan untuk kembali ke kampung halaman mereka. Pada tanggal 1 November 1996, menteri kehakiman Brasil menyatakan bahwa daerah seluas 495.000 hektar dijadikan “hak milik permanent pribumi”. Tampaknya orang Panaras telah diselamatkan dari kepunahan.





Apakah Masa Depan Mereka akan Lebih Baik?

Dapatkah cagar budaya menyelamatkan suku-suku Indian yang tersisa dari kepunahan? Sekarang ini, kecil kemungkinannya orang Indian Brasil mengalami kepunahan secara fisik. Namun, di tanah mereka sering kali terdapat sumber daya alam yang berharga. Diperkirakan ada kandungan mineral yang bernilai sekitar satu triliun dolar (AS) – termasuk emas, platina, intan, besi dan timah hitam – terpendam di bawah permukaan tanah kawasan yang dikenal sebagai Legal Amazonia, yang mencakup sembilan negara bagian di wilayah Brasil utara dan tengah bagian berat. Sekitar 98 persen tanah orang Indian terletak di kawasan ini. Penambangan liar sudah berlangsung di beberapa tanah orang Indian.


Sejarah menunjukkan bahwa orang Indian terus-menerus dirugikan dalam berurusan dengan orang kulit putih. Mereka menukar emas dengan cermin dan batang-batang kayu Brasil dengan pernak-pernik, dan mereka harus menghindar ke daerah-daerah hutan yang terpencil agar tidak diperbudak. Apakah sejarah akan berulang?


Banyak orang Indian telah belajar menggunakan berbagai peralatan abad teknologi kita – pesawat terbang, perahu bermotor, dan ponsel. Tetapi, waktu sajalah yang akan menyingkapkan apakah mereka akan berhasil mengatasi berbagai problem abad ke-21.




Category: 5 komentar

Apakah Semua Jalan Menuju ke Roma?





Sistem jalan di Imperium Romawi menghubungkan ibu kotanya dengan berbagai provinsi yang tersebar luas. Sistem itu menghubungkan hutan-hutan lebat di Gaul dengan kota-kota di Yunani serta Sungai Efrat dengan Selat Inggris. Yang terutama ialah sistem jalan ini memungkinkan hampir setiap bagian wilayah itu dijangkau dan dikuasai oleh legiun-legiun Roma. Jalan-jalan utama beraspal ini bercabang menjadi banyak jalan kecil menuju berbagai provinsi di Imperium Romawi. Inilah asal mula peribahasa, “Semua jalan menuju ke Roma.”


Jalan-jalan sepanjang lebih dari 80.000 kilometer ini melintasi Imperium Romawi. Sekarang ini, bagaimana seseorang bisa mempelajari semua jalan itu dan memahami dampaknya terhadap dunia zaman dahulu itu? Salah satu cara adalah dengan meneliti peta abad ke-13 yang disebut Peta Peutinger.


Menurut para sejarawan, Peta Peutinger adalah salinan sebuah peta yang semula dibuat saat pasukan Romawi masih melintasi jalan-jalan yang terkenal ini. Pada tahun 1508, Konrad Peutinger, juru tulis kota Augsburg di Jerman bagian selatan, mewarisi salinan dengan peta tersebut yang belakangan dikenal dengan namanya. Dewasa ini, salinan tersebut disimpan di Perpustakaan Nasional Austria di Wina, dengan judul berbahasa Latin yaitu Tabula Peutingeriana.





Gabungan Peta Imperium Romawi

Di ruangan kelas modern, para siswa sering kali mempelajari peta berbentuk agak bujur sangkar yang digantung pada dinding. Namun, Peta Peutinger adalah gulungan yang jika dibentangkan lebarnya 34 sentimeter dan panjangnya lebih dari 6,75 meter. Gulungan ini mula-mula terdiri atas 12 lembar perkamen terpisah yang ujung-ujungnya direkatkan. Kini, hanya 11 lembar yang masih ada. Peta ini memperlihatkan dunia Imperium Romawi pada masa kejayaannya, yang membentang dari Inggris hingga sejauh India. Meskipun anda mungkin tahu letak wilayah tersebut di peta modern, anda bisa jadi kebingungan sewaktu pertama kali meneliti Peta Peutinger. Mengapa begitu?


Peta Peutinger dibuat, bukan untuk para pakar geografi modern, tetapi untuk para penjelajah zaman dahulu. Peta berbentuk gulungan mudah digunakan di jalan. Namun, agar gulungan itu bisa memuat berbagai perincian yang dibutuhkan, pembuat peta harus memperpendek ukuran utara-selatan dan memperpanjang beberapa kali ukuran timur-barat imperium tersebut. Hasilnya adalah sebuah peta yang tidak proporsional tetapi mudah dibuka, dirujuk, digulung, dan dibawa-bawa. Orang dapat dengan cepat melihat cara terbaik untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Bagi mereka, ini lebih penting ketimbang keterangan lain seperti bentuk negara Italia, ukuran Laut Hitam, atau arah sebenarnya yang sedang dituju.


Corak-corak pada Peta Peutinger dibedakan oleh warna-warnanya. Jalan-jalan diwarnai dengan garis merah, gunung-gunung dengan warna cokelat, dan sungai-sungai dengan warna hijau. Peta ini memuat nama ratusan kota dan letaknya ditandai dengan gambar rumah, halaman bertembok, dan menara. Lambang-lambang tersebut menunjukkan berbagai fasilitas yang ada di tiap-tiap tempat. Peta itu juga memperlihatkan jarak antar-kota, stasiun, dan tempat persinggahan.



Apakah Semua Jalan Menuju ke Roma?

Beberapa jalan menuju ke Aquileia, sebuah kota yang terletak di Italia bagian timur laut. Di peta, Aquileia memiliki tembok-tembok dan menara-menara jaga yang kokoh. Karena kota itu mendominasi beberapa persimpangan jalan utama dan memiliki pelabuhan yang bagus, Aquileia merupakan salah satu kota terpenting di Imperium Romawi.


Via Egnatia, atau Jalan Egnatia melintasi Semenanjung Balkan dari Pesisir Adriatik menuju Konstantinopel, dan kini dikenal sebagai Istambul. Peta Peutinger menandai kota tersebut dengan lambang seorang dewi yang sedang duduk di takhta tetapi siap berperang. Beberapa jalan menuju ke Antiokhia Siria, yang kini adalah kota Antakya di Turki. Antiokhia adalah kota terbesar ketiga di Imperium Romawi, setelah Roma dan Aleksandria. Di peta, kota itu ditunjukkan dengan lambang seorang dewi yang sedang duduk dan mengenakan lingkaran cahaya.


Lambang apa yang Peta Peutinger gunakan untuk menggambarkan Roma? Kota itu dilambangkan dengan seorang kaisar wanita perkasa berjubah ungu, yang sedang duduk di takhta. Bola bumi dan tongkat yang ada di tangannya mengartikan bahwa kuasa dunia berpusat di ibu kota imperium tersebut.





Apakah tepat untuk mengatakan bahwa semua jalan itu menuju ke Roma? Ya, apabila anda mempertimbangkan luasnya jaringan jalan penghubung yang bercabang dari jalan-jalan rayanya. Peta Peutinger memperlihatkan bagaimana jalan-jalan raya itu memperluas jangkauan kekuasaan Imperium tersebut, sehingga Roma dapat menguasai berbagai provinsi selama hampir 500 tahun.

Category: 4 komentar

Tempat Aman Terakhir bagi Spesies yang Terancam Punah



Tanaman dan binatang semakin terancam di seluruh dunia. Beberapa ilmuwan memperkirakan bahwa ribuan spesies punah setiap tahun. Untunglah, deretan pegunungan menjadi tempat berlindung bagi tanaman serta binatang yang dulunya hidup di daerah yang subur dan luas. Namun, sekalipun di tempat yang aman ini, polusi dan perusakan lingkungan oleh manusia menjadi ancaman. Mungkin tidak ada bukti yang lebih nyata tentang hal ini daripada di Eropa, salah satu tempat terpadat di planet ini.


Di Pyrenees, pegunungan yang memisahkan Perancis dan Spanyol, beberapa taman nasional menjadi perlindungan bagi flora dan fauna setempat. Di wilayah yang dilindungi ini, para pengunjung mendapat kesempatan untuk melihat tempat aman terakhir bagi banyak spesies yang terancam punah. Mari kita lihat sekilas apa saja yang ada di taman ini.



Spesies yang Berjuang untuk Hidup

Bunga. Beberapa bunga liar yang sangat indah tumbuh pada ketinggian di atas 1.500 meter. Gentiana salju dan gentiana terompet (1), dengan daun mahkotanya yang biru terang, menutupi daerah lereng yang tidak berpohon. Semakin jauh menuruni lereng, di antara pohon-pohon pasang, terdapat sebuah hutan kecil anggrek cypripedium calceolus (2) yang hampir punah masih tumbuh subur. Setiap tahun, ratusan pecinta alam berkunjung ke hutan kecil ini, sehingga pengurus perhutanan di sana menempatkan penjaga yang bertugas 14 jam sehari untuk memastikan agar bunga-bunga yang berharga itu tidak dirusak atau dicabut.


Kupu-kupu. Padang rumput alpin yang belum terusik dan penuh dengan bunga liar menjadi tempat berlindung bagi kupu-kupu yang beraneka warna. Kupu-kupu Apollo (3), yang besar dengan bintik-bintik merah menyala pada sayapnya terbang ke sana kemari di antara rumput berduri. Bunga-bunga yang lebih kecil sering dihinggapi kupu-kupu biru dan kupu-kupu tembaga (4) dari famili Lycaenidae. Kupu-kupu Vanessa cardui dan aglais urticae dengan lincah terbang ke lereng yang lebih tinggi.


Binatang. Banyak binatang mamalia besar di Eropa pernah berkelana di daerah yang sangat luas di benua itu. Akan tetapi, beberapa di antaranya diburu sampai hampir punah. Serigala, beruang, links (5), bison, kijang gunung, dan kambing gunung (6) kini bertahan hidup hanya di beberapa pegunungan atau di daerah yang jauh di utara. Binatang-binatang yang luar biasa di cagar alam taman nasional Pyrenees dengan jelas mengingatkan bahwa dulunya ada banyak satwa liar di pegunungan ini. Beberapa pengunjung dengan prihatin bertanya-tanya tentang masa depan binatang liar yang hampir punah ini.




Category: 2 komentar

Misteri Besar di Bidang Ilmiah Terkuak




Kala para penyelam menyelidiki sebuah bangkai kapal yang karam dekat Pulau Antikythera di Yunani pada tahun 1901, mereka menemukan harta karun. Ternyata, itu adalah kapal dagang Romawi kuno yang mengangkut, antara lain, patung-patung marmer dan perunggu serta koin-koin perak dari Pergamus. Berdasarkan koin-koin tersebut, para peneliti memperkirakan bahwa kapal itu, yang mungkin sedang menuju Roma, tenggelam antara tahun 85 dan 60 SM.


Sejak ditemukan, artefak-artefak tersebut disimpan di Museum Arkeologi Nasional Athena, Yunani. Akan tetapi, yang membuat para peneliti berdatangan ke museum itu pada tahun 2005 bukanlah patung-patung atau koin tersebut. Perhatian mereka tertuju pada sebuah piranti perunggu yang semula tersimpan dalam wadah kayu seukuran kotak sepatu. Artefak ini, yang dinamai Mekanisme Antikythera, mematahkan asumsi tentang prestasi ilmiah dari peradaban masa awal. Piranti itu dijuluki “mekanisme paling canggih dari dunia kuno”. Piranti apakah itu? Dan, mengapa piranti itu sangat penting?



Benda Misterius

Sewaktu diangkat dari dasar laut, benda itu sudah sangat berkarat dan berkerak. Setelah hampir 2.000 tahun, bentuknya seperti batu karang berwarna kehijauan. Karena semua perhatian tertuju pada patung-patung, benda misterius ini tadinya tidak begitu dipedulikan.


Ketika seorang arkeolog Yunani memeriksa artefak itu pada tahun 1902, mekanisme tersebut terpecah-pecah. Ada roda-roda gigi dengan beragam ukuran, dan gigi-giginya yang berbentuk segitiga dibuat secara akurat. Piranti itu mirip seperti jam, tetapi karena mekanisme jam diyakini baru digunakan secara luas sekitar 700 tahun lalu, kemungkinan besar itu bukan jam.


Sebuah artikel tentang Mekanisme Antikythera menjelaskan bahwa “pada umumnya, para sejarawan tidak yakin bahwa orang Yunani yang hidup kira-kira 2.000 tahun lalu memiliki mekanisme roda gigi berakurasi tinggi – roda gigi yang dibuat dari logam dan disusun menjadi ‘rangkaian roda gigi’ yang rumit dan bisa meneruskan gerakan dari satu poros penggerak ke poros penggerak lainnya”. Meskipun demikian, piranti itu diduga sebagai sejenis astrolab, instrumen yang dahulu biasa digunakan untuk menentukan garis lintang berdasarkan posisi benda-benda langit.







Namun, banyak orang berpendapat bahwa melihat kerumitannya, mustahil roda-roda gigi tersebut berusia 2.000 tahun. Jadi, mereka menyimpulkan bahwa benda itu pasti tidak termasuk dalam muatan kapal kuno yang tenggelam tersebut. Di pihak lain, seorang pakar menduga bahwa benda itu kemungkinan adalah alat legendaries buatan Archimedes, yang diceritakan oleh Sisero pada abad pertama SM. Konon, alat itu adalah sejenis planetarium – sebuah miniatur yang bisa menirukan pergerakan matahari, bulan, dan lima planet yang terlihat oleh mata telanjang. Akan tetapi, karena tidak ada bukti yang jelas untuk mementahkan teori astrolab, teori itu diterima secara luas.







Diteliti Lebih Cermat

Pada tahun 1958, mekanisme itu diteliti oleh Derek de Solla Price, seorang fisikawan yang belakangan beralih menjadi professor di bidang sejarah sains. Ia berpendapat bahwa piranti itu bisa menentukan waktu terjadinya peristiwa astronomis di masa lalu atau di masa depan, misalnya bulan purnama berikutnya. Ia tahu bahwa tulisan pada piringannya menunjukkan pembagian kalender – hari, bulan, dan lambang zodiak. Menurutnya, di piringan itu tadinya pasti ada jarum yang bisa berputar yang menunjukkan posisi benda-benda langit pada waktu yang berlainan.


Price menyimpulkan bahwa roda gigi terbesar digunakan untuk menunjukkan pergerakan matahari dan satu kali rotasi memaksudkan satu tahun matahari. Jika roda gigi lainnya, yang terhubung dengan yang pertama, menunjukkan pergerakan bulan, maka rasio jumlah gigi pada kedua roda gigi tersebut pasti dirancang berdasarkan pandangan orang Yunani kuno tentang orbit bulan.


Pada tahun 1971, Price memindai mekanisme itu dengan sinar-X. Hasilnya meneguhkan teorinya. Piranti tersebut adalah kalkulator astronomis yang rumit. Price membuat gambar tentang perkiraan cara kerja mekanisme itu dan menerbitkan temuannya pada tahun 1974. Ia menulis, “Tidak ada piranti seperti ini yang terlestarikan di tempat lain manapun. Berdasarkan pengetahuan kita tentang sains dan teknologi pada Zaman Helenistik, kita tentu berpikir bahwa mustahil ada piranti seperti itu.” Kala itu, jerih payah Price tidak mendapat sambutan yang sepantasnya. Namun, orang lain melanjutkan riset yang ia lakukan.



Informasi Baru

Pada tahun 2005, tim yang terdiri dari para peneliti yang disebutkan di awal meneliti mekanisme itu dengan mesin CAT-scan yang canggih untuk mengahsilkan gambar sinar-X tiga dimensi beresolusi tinggi. Riset ini mengemukakan informasi baru tentang cara kerja mekanisme itu. Ketika si pengguna memutar kenopnya, setidaknya 30 roda gigi yang saling terhubung mengaktifkan tiga piringan di bagian depan dan belakang kotak. Ini memungkinkan si pengguna memprediksi siklus astronomis, termasuk gerhana, yang berkaitan dengan siklus empat tahunan Olimpiade dan pesta-pesta olahraga lain yang melibatkan seluruh Yunani. Pesta-pesta olahraga ini lazim digunakan sebagai dasar penananggalan.


Mengapa informasi demikian sangat penting? Ada beberapa alasan. Astronomi penting bagi orang zaman kuno karena petani menggunakan matahari dan bulan untuk menentukan saat menabur benih. Pelaut menggunakan bintang untuk memandu pelayaran. Lembaga-lembaga sosial Yunani sangat bergantung pada fenomena astronomis. Dan, masih ada alasan lain mengapa informasi demikian sangat berharga.


“Bagi orang Babilon kuno, memprediksi gerhana sangatlah penting, karena gerhana dianggap sebagai pertanda buruk,” tulis Martin Allen, anggota Proyek Riset Mekanisme Antikythera. “Bahkan, mekanisme tersebut bisa dianggap sebagai alat politis, yang memungkinkan kalangan berwenang menguasai rakyat mereka. Bahkan, diperkirakan bahwa salah satu alasan mengapa mekanisme itu begitu misterius adalah karena piranti itu dirahasiakan oleh pihak militer dan para politikus.”


Tidak soal keterangan lain yang kita dapat darinya, mekanisme tersebut membuktikan bahwa astronomi dan matematika orang Yunani kuno, yang sebagian besar diajarkan pada ajaran turun-temurun orang Babilon, jauh lebih maju daripada yang mungkin kita sangka. Majalah Nature menyatakannya sebagai berikut, “Mekanisme Antikythera kuno tidak hanya mematahkan asumsi kita tentang ahli teknologi selama berabad-abad – piranti itu memberikan kita informasi baru tentang sejarah itu sendiri.”







Siapa Pembuatnya?

Mekanisme Antikythera tidak mungkin hanya ada satu. “Tidak didapati kesalahan apa pun,” tulis Martin Allen. “Semua unsur mekanisnya ada kegunaannya. Tidak ada kelebihan lubang, ataupun unsur tak berguna lain yang memperlihatkan bahwa sang pembuat memodifikasi rancangannya pada saat mekanisme itu dibuat. Hal ini membuat kita berkesimpulan bahwa ia pasti sudah membuat sejumlah piranti serupa sebelumnya.” Jadi, siapa pembuatnya? Dan, apa yang terjadi dengan piranti lain yang dia buat?


Riset terkini mengenal mekanisme itu menunjukkan adanya nama-nama bulan pada piringan yang memprediksi gerhana. Nama-nama itu berasal dari Korintus, sehingga para peneliti berkesimpulan bahwa piranti itu dibuat dan digunakan oleh masyarakat dari latar kebudayaan tertentu. Majalah ilmiah Nature menyatakan, “Kemungkinan besar penggunanya adalah koloni orang Korintus di Yunani bagian barat laut atau Sirakuse di Sisilia – dan jika piranti itu digunakan di Sirakuse, hal ini menunjukkan bahwa piranti itu bisa jadi telah digunakan sejak zaman Archimedes.”


Mengapa tidak ada lagi piranti serupa yang terlestarikan? “Perunggu adalah komoditas yang sangat bernilai dan sangat mudah diproses ulang,” tulis Allen. “Akibatnya, benda perunggu dari zaman kuno jarang sekali ditemukan. Sebenarnya, banyak benda perunggu bersejarah yang penting ditemukan di dalam laut, tempat yang tidak bisa dijangkau oleh orang yang kemungkinan bakal meleburnya menjadi barang lain.” “Kami hanya punya contoh ini,” kata seorang peneliti, “karena benda ini tidak terjangkau orang-orang yang berniat menggunakan logamnya.”




Category: 2 komentar

Tanda Wajah, ‘Kartu Identitas’ Nigeria yang Hampir Lenyap




Pada suatu pagi di penghujung tahun 1960-an, Danjuma yang berusia enam tahun mendekati ayahnya dan berkeras agar wajahnya ditoreh seperti halnya warga Igala lain yang merasa bangga memilikinya. Danjuma tidak tahan lagi dengan ejekan teman-teman sekolahnya yang mencemoohnya karena tidak memiliki tanda wajah. Meskipun torehan-torehan itu biasanya dibuat pada bayi-bayi suku Igala yang masih terlalu kecil untuk merasa takut, anak-anak itu menganggap tanda itu sebagai bukti keberanian. Mereka menganggap anak-anak yang tidak memilikinya sebagai pengecut yang takut pada pisau.


Sebelumnya, ayah Danjuma menolak untuk menoreh wajah putranya. Tetapi pagi itu, karena desakan Danjuma yang bertekad membuktikan keberaniannya, sang ayah pun mengambil sebilah pisau dan membuat tiga torehan horizontal yang dalam di sebelah kiri dan kanan wajah Danjuma, sedikit di atas sudut mulutnya.


Ayah Danjuma tahu bahwa makna sesungguhnya dari torehan-torehan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan keberanian. Sebaliknya, torehan-torehan itu akan sembuh dan menjadi tanda jati diri. Itu akan menjadi ‘kartu identitas’ permanen yang tidak bisa hilang atau dipalsukan. Itu akan membuat putranya mudah dikenali oleh para kerabat, sehingga memenuhi syarat untuk mendapatkan hak istimewa dan hak lain sebagai warga Igala. Tetapi, tanda itu juga akan membedakannya dengan lebih dari 250 kelompok etnik lain di Nigeria.


Praktek penorehan memiliki sejarah yang panjang di Afrika, meskipun tidak terbatas di benua ini saja. Sejarawan Yunani, Herodotus, menulis pada abad kelima SM tentang orang-orang Karia yang tinggal di Mesir, “Mereka menoreh dahi mereka dengan pisau, dengan demikian membuktikan bahwa mereka adalah orang asing dan bukan orang Mesir.” Patung-patung kepala dari perunggu yang dibuat di Ife, Nigeria, tujuh ratus tahun yang lalu memperlihatkan garis wajah yang oleh banyak orang dianggap sebagai tanda etnik. Tanda wajah juga tampak jelas pada pahatan dari Kerajaan Benin di Nigeria purba.


Tidak semua tanda wajah dibuat untuk jati diri etnik. Hingga sekarang, beberapa tanda masih ada kaitannya dengan spiritisme dan praktek-praktek agama. Ada yang menjadi simbol status dalam masyarakat tradisional. Namun, ada juga yang tujuannya untuk keindahan.


Tanda wajah, yang ditoreh oleh orang tertentu dalam komunitas, sangat bervariasi. Ada yang berupa torehan kecil di kulit, sedangkan yang lain-lain merupakan sayatan panjang dan dalam yang diperlebar dengan jari. Kadang-kadang, sumba alami dibubuhkan pada luka untuk mewarnai tanda itu. Setiap kelompok etnik memiliki pola sendiri yang unik. Misalnya, satu tanda vertikal pada setiap pipi mengidentifikasi pria dan wanita Ondo. Tiga tanda horizontal di setiap pipi mengidentifikasi orang-orang Oyo. Bagi orang-orang yang paham soal tanda-tanda ini, memandang wajah secara sekilas sudah cukup untuk mengetahui dari kelompok etnik, kota, atau bahkan keluarga mana ia berasal.






Sikap yang Berbeda-Beda

Sebagaimana tanda dan alasan mengapa itu diberikan sangat bervariasi, demikian pula cara orang menyikapinya. Banyak orang merasa bangga karena memilikinya. Seorang editor Daily Times dari Nigeria menyatakan, “Beberapa orang menganggap tanda wajah sebagai lambang patriotisme. Itu membuat mereka merasa seperti putra-putra sejati dari leluhur mereka.”


Seperti inilah pandangan Jimoh, seorang pria Nigeria, yang berkata, “Saya tidak pernah merasa malu dengan tanda Oyo saya, karena itu memperlihatkan bahwa saya benar-benar penduduk asli Yoruba dari kota Alafin.” Ia selanjutnya menceritakan bagaimana tanda-tanda itu menyelamatkan kehidupannya pada Perang Sipil Nigeri tahun 1967, “Rumah yang saya tempati diserbu dan semua penghuni yang lain dibunuh. Para pembunuh tidak melukai saya karena tanda wajah saya.”


Ada pula yang merasa sangat kesal akan tanda wajah. Tajudeen berkata tentang tanda wajahnya, “Saya benci tanda itu, terkutuklah hari ketika wajah saya ditoreh.” Dan, seorang gadis remaja memuji ibunya karena tidak mengizinkan dia dioperasi sewaktu kecil. Ia berkata, “Saya akan bunuh diri seandainya saya sampai diberikan tanda wajah.”






Menghadapi Pengejek

Danjuma, yang disebutkan dalam pembukaan, diejek karena ia tidak memiliki tanda. Yang biasanya terjadi adalah justru kebalikannya. Lebih dari 45 tahun yang lalu, G. T. Basden menulis dalam bukunya Niger Ibos, “Menoreh dan menato mulai ketinggalan zaman. Banyak pria muda akan senang bila terbebas dari tanda mereka. Tanda yang menjadi kebanggaan di antara kaumnya sendiri, menjadi bahan celaan, karena ejekan dan hinaan yang dialaminya di tempat-tempat lain di negeri itu.”


Itulah yang terjadi dewasa ini. Ajai, yang meraih gelar sarjana psikologi di Universitas Lagos, meneliti tanda wajah di Nigeria. Ia mengamati, “Pada zaman sekarang, setidak-tidaknya di Lagos, orang-orang dengan tanda wajah merupakan kaum minoritas dan menjadi sasaran ejekan. Misalnya, bukan hal yang aneh bila seseorang dipanggil kolonel, bukan karena ia seorang tentara melainkan karena jumlah garis di pipinya sama dengan jumlah garis seragam seorang kolonel dalam Angkatan Bersenjata. Beberapa orang dijuluki macan karena pipi mereka yang berbelang-belang atau ada juga yang dijuluki air mata abadi. Bayangkan apa pengaruhnya terhadap harga diri orang tersebut.”


Barangkali, cobaan terberat adalah di sekolah. Samuel adalah satu-satunya anak di kelas yang memiliki tanda wajah. Ia bercerita, “Di sekolah, saya sering ditertawakan. Teman-teman memanggil saya ‘jalur kereta api’ dan ‘anak lelaki berjalur kereta api’. Mereka selalu menertawakan saya dan mengacungkan tiga jari. Saya benar-benar merasa lebih rendah.”


Bagaimana ia menghadapinya? Samuel melanjutkan, “Suatu hari, olok-olok itu begitu hebatnya sehingga saya menghadap guru biologi saya dan menanyakan kapadanya apakah tanda itu dapat dihilangkan. Ia memberi tahu saya bahwa hal itu bisa dilakukan dengan bedah plastik, tetapi sebenarnya saya tidak perlu resah karena toh ada banyak ribuan orang di Nigeria yang memiliki tanda wajah. Ia mengatakan bahwa teman-teman sabaya saya menertawakan saya karena mereka belum dewasa, tetapi sewaktu kelak kami dewasa, semua olok-olokan itu akan berhenti dengan sendirinya. Ia juga mengatakan bahwa tanda itu tidak menentukan siapa diri saya sesungguhnya atau jadi apa saya nantinya.


“Kata-katanya membuat saya merasa lebih lega, dan perasaan yang tidak enak tadinya saya miliki tentang tanda itu pun lenyap. Sekarang, orang-orang sudah jarang mengejek tanda wajah saya. Kalau pun mereka mengejek, saya hanya tersenyum. Hubungan saya dengan orang-orang lain tidak menjadi rusak. Orang-orang merespek diri saya apa adanya, bukan karena tanda yang saya miliki.



Tradisi yang Hampir Lenyap

Karena tanda biasanya dibuat pada remaja, kebanyakan orang Nigeria yang memiliki tanda etnik di wajahnya tidak punya pilihan lain dalam hal ini. Akan tetapi, sewaktu mereka menjadi orang tua, mereka harus memutuskan apakah mereka akan memberi anak-anak mereka tanda.


Beberapa orang memutuskan untuk melakukan hal itu. Menurut Times International dari Lagos, ada beberapa alasan di balik keputusan ini. Majalah tersebut menyatakan, “Beberapa orang masih menganggapnya sebagai tanda kecantikan. Yang lain-lain percaya bahwa tanda suku dapat membantu menemukan asal-usul sang pengguna demi alasan favoritisme. Penggunaan lain adalah dalam menentukan keabsahan seorang anak dalam masyarakat tradisional.”


Akan tetapi, sekarang, semakin banyak orang tua yang menganggap alasan-alasan ini tidak berlaku. Bahkan di antara orang-orang yang bangga dengan tanda mereka, relatif sedikit yang mau mengambil resiko menoreh wajah anak-anak mereka. Inilah yang terutama terjadi di perkotaan. Rasa nyeri dan resiko infeksi, serta cemooh dan diskriminasi yang mungkin dihadapi sang anak dalam hidupnya kelak, semuanya merupakan faktor-faktor yang menyebabkan orang tua menolak pemberian tanda wajah.


Jelaslah, tanda wajah semakin tidak populer dan tidak diterima. Tampaknya bahwa kelak di Nigeria, “kartu identitas” akan dibawa orang dalam dompetnya, bukan lagi di wajah mereka.




Category: 2 komentar